Dikutip dari http://muslim.or.id/
Untuk darah manusia, mengenai najisnya terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Mayoritas ulama madzhab menganggapnya najis. Dalil mereka adalah firman Allah Ta’ala,
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor.” (QS. Al An’am: 145). Para ulama tersebut menyatakan bahwa karena dalam ayat ini disebut darah itu haram, maka konsekuensinya darah itu najis.
Namun ulama lainnya semacam Asy Syaukani
[4] dan muridnya Shidiq Hasan Khon
[5], Syaikh Al Albani
[6] dan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin
rahimahumullah menyatakan bahwa darah itu suci. Alasan bahwa darah itu suci sebagai berikut.
Pertama: Asal segala sesuatu adalah suci sampai ada dalil yang menyatakannya najis. Dan tidak diketahui jika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan membersihkan darah selain pada darah haidh. Padahal manusia tatkala itu sering mendapatkan luka yang berlumuran darah. Seandainya darah itu najis tentu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan untuk membersihkannya.
[7] Kedua: Sesuatu yang haram belum tentu najis sebagaimana dijelaskan oleh Asy Syaukani
rahimahullah[8].
Ketiga: Para sahabat dulu sering melakukan shalat dalam keadaan luka yang berlumuran darah. Mereka pun shalat dalam keadaan luka tanpa ada perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membersihkan darah-darah tersebut.
Sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits yang menceritakan seorang Anshor. Ketika itu ia sedang shalat malam, kemudian orang-orang musyrik memanahnya. Ia pun mencabut panah tadi dan membuangnya. Kemudian ia dipanah sampai ketiga kalinya. Namun ketika itu ia masih terus ruku’ dan sujud padahal ia dalam shalatnya berlumuran darah.
[9] Ketika membawakan riwayat ini, Syaikh Al Albani
rahimahullah menjelaskan, “Riwayat ini dihukumi marfu’ (sampai pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam). Karena sangat mustahil kalau hal ini tidak diperhatikan oleh beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya darah yang amat banyak itu menjadi pembatal shalat, tentu beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya. Karena mengakhirkan penjelasan di saat dibutuhkan tidak diperbolehkan, sebagaimana hal ini telah kita ketahui bersama dalam ilmu ushul.”
[10] Juga ada beberapa riwayat lainnya yang mendukung hal ini. Al Hasan Al Bashri mengatakan,
مَا زَالَ الْمُسْلِمُونَ يُصَلُّونَ فِى جِرَاحَاتِهِمْ
“
Kaum muslimin (yaitu para sahabat) biasa mengerjakan shalat dalam keadaan luka.”
[11] Dalam Muwatho’ disebutkan mengenai sebuah riwayat dari Miswar bin Makhromah, ia menceritakan bahwa ia pernah menemui ‘Umar bin Al Khottob pada malam hari saat ‘Umar ditusuk. Ketika tiba waktu Shubuh, ia pun membangunkan ‘Umar untuk shalat Shubuh. ‘Umar mengatakan,
وَلَا حَظَّ فِي الْإِسْلَامِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ
“
Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” Lalu ‘Umar shalat dalam keadaan darah yang masih mengalir.
[12] Hal ini menunjukkan bahwa pendapat terkuat dalam masalah ini, darah manusia itu suci baik sedikit maupun banyak. Namun kita tetap menghormati pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa darah itu najis. Wallahu a’lam bish showab.
Related Posts by Categories
0 comments:
Posting Komentar